Sabtu, 28 Mei 2011



Film Review: 127 Hours (2010)
Posted by jalangfilm ⋅ January 10, 2011 ⋅ 5 Comments
Filed Under 2010, amerika, drama

Terperangkap di sebuah lokasi yang terpencil dan tidak bisa mengandalkan siapapun untuk menolong. Sungguh sebuah situasi yang saya yakin tak seorang pun mau mengalaminya. Akan tetapi jika nasib berkehendak lain dan “mengharuskan” kita untuk mengalaminya, maka mau tidak mau kita tentu harus mengandalkan naluri untuk bertahan hidup. Bagaimanapun caranya. Sebagai sebuah film yang diangkat dari memoar berjudul “Between A Rock And A Hard Place”, sebuah cuplikan akan peristiwa menggiriskan yang dialami oleh Aron Ralston, seorang pemanjat gunung yang mengalami kecelakaan dan terjebak disebuah ngarai terpencil tanpa seorang pun yang mengetahui keberadaanya, maka ’127 Hours’ adalah sebuah opus oleh Danny Boyle (28 Days Latter) tentang bagaimana kemalangan menjadi pemicu sebuah semangat untuk hidup.

Pada tahun 2003, Aron Ralston (diperankan oleh James Franco) memutuskan untuk melakukan pendakian di kawasan Taman Nasional Canyonland, Utah, Amerika. Dengan ceroboh dia tidak memberitahukan siapapun tentang kepergiannya. Bahkan tidak memperlengkapi dirinya dengan peralatan yang layak. Aron cukup bangga akan kemampuan dirinya mengenal seluk beluk lokasi yang akan ditujunya atau kemampuan dirinya dalam melakukan panjat tebing.

Dengan latar belakangnya, Aron mungkin merasa dirinya sangat menguasai medan, namun tidak jika alam sudah berbicara lain. Saat sedang melakukan pendakian disebuah ngarai sempit, ia terjatuh kedalamnya. Seakan belum cukup, tangan kirinya tertimpa oleh sebuah batu berat yang sangat sulit untuk digeser. Selanjutnya, selama 127 jam sesudahnya, Aron harus mampu bertahan hidup dengan mengandalkan apa yang ada didirinya saat itu. Saat menyadari jika bantuan yang diharapkannya tidak akan kunjung datang, maka ia pun melakukan hal ekstrim yang sangat berbahaya, tapi harus dilakukannya jika masih ingin melanjutkan hidupnya.

Danny Boyle semakin menunjukkan tajinya. Setelah kemenangan prestisiusnya di ajang Oscar melalui ‘Slumdog Millionaire’ (2008), Boyle tidak terlena dan memilih untuk tetap mengejar persistensi dalam merangka sebuah sinema yang mengedepankan kualitas namun tetap sejajar dengan unsur hiburan yang kuat. Dengan resumenya selama ini, sangat mengesankan dimana Boyle selalu berupaya melakukan upaya-upaya yang membuat film-filmnya satu dengan yang lain terlihat berbeda dalam gaya akan tetapi tetap tidak melupakan ciri khas Boyle selama ini.

Kali ini, dalam ’127 Hours’, ia kembali bekerjasama dengan tim intinya dari ‘Slumdog Millionaire’; Simon Beaufoy (penulis skrip), Anthony Dod Mantle (kamera) dan A.R. Rahman (musik), dan lagi-lagi mengantarkan sebuah kegemilangan sinema yang solid dan sulit untuk ditahan lajunya dalam mengantarkan arus emosi yang membuncah.

’127 Hours’ begitu juara dalam mengikat kita dalam narasinya, meski sebenarnya hanya bersandarkan pada karakter serta lokasi yang sama. Semangat dan kemudian putus asa serta berganti lagi menjadi kebulatan tekad, disusun Boyle dengan tempo yang cepat dan menghasilkan plot yang ringkas. Tapi bukan berarti diisi dengan secukupnya-seadanya, karena dengan dimasukannya fraktur-fraktur kenangan Aron akan masa lalu menambah kaya film akan intensitas serta ketegangan. Menegaskan jika kesusahan hanya akan mengembalikan ingatan terbaik kita, terlepas apakah itu kenangan yang indah atau malah sebaliknya.

Benar. Ini adalah film yang menegangkan dan juga membuat depresi penontonnya. Boyle begitu fasih menangkap kegelisahan Aron dalam seting yang claustrophobic seperti ini. Kita sebagai penonton pun seolah-olah turut terperangkap bersamanya. Merasa takut, gelisah dan kehilangan semua semangat. Jangan kuatir akan merasa bosan, karena Boyle menganulir itu dengan sempurna.

Tentu saja upaya Boyle berhasil karena didukung oleh kemampuan James Franco dalam menerjemahkan semangat Aron Ralston dengan mumpuni. Franco dengan luar biasa mengajak kita untuk larut dalam kepongahan, kegetiran, kesedihan dan semangatnya. Begitu juara mengaduk-aduk emosi kita seolah-olah kita adalah temannya yang harus merasakan semua buncahan emosinya. Dan saat memori melintas dan berlalu, kita pun terseret dalam rasa sesak didada, membayangkan apakah akan merasakan yang sama jika peristiwa serupa menimpa kita.

’127 Hours’ bukan sekedar film. Ia adalah sebuah pengalaman. Pengalaman yang harus dirasakan sendiri untuk mengetahui bagaimana rasanya. Pengalaman yang kemudian menorehkan sebuah pencerahan batin yang membuat kita memikirkan tentang kehidupan yang kita jalani selama ini. Apakah kita telah menjalani hidup secara penuh, mengukirnya dengan kebijakan atau mengikuti kata hati yang impulsif dan menuju entah kemana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar